10/01/2025

Dinamika asesmen kelas dan hak asesmen siswa

Pembahasan kali ini kita akan menggunakan dua artikel dari Shepard (2000) dan Stiggins (2014). Kedua artikel ini saling melengkapi, Shepard (2000) menjelaskan koherensi paradigma (keterkaitan kurikulum, teori belajar, dan asesmen) dan memberikan contoh bentuk asesmen yang dapat diimplementasikan oleh guru dalam pembelajaran. Sedangkan Stiggins (2014) menjelaskan advokasi kebijakan dan etika asesmen, serta memberikan kerangka hak siswa dalam asesmen.

Shepard (2000) menerangkan bahwa asesmen menjadi bagian penting dari pembelajaran untuk mendukung proses pembelajaran, bukan hanya fokus pada pemberian nilai. Ia juga menjelaskan histori pengajaran modern (konstruktivis) terkadang sudah tidak cocok dengan praktik tes tradisional sehingga memerlukan perubahan agar sejalan dengan pedagogi konstruktivis sosial.

Secara historis, abad ke-20 didominasi paradigma seperti efisiensi sosial, behaviourisme menejemen ilmiah, dan pengukuran ilmiah. Hal ini lah yang memisahkan antara "mengajar" dan "menguji". Paradigma-paradigma ini yang mendorong kurikulum terdiferensiasi untuk peran sosial yang berbeda dan mendidik sesuai dengan kemampuan siswa. Bentuk tes didominasi dengan tes objektif dan adanya kepercayaan bahwa tes merupakan bentuk dari proses belajar. Contoh bentuk tesnya adalah aritmatika, bahasa, T/F dan berfokus pada hafalan.

Selanjutnya, paradigma mulai bergeser ke konstruktivis-sosial sehingga pada masa ini terjadi revisi kurikulum dan teori belajar. Penekanannya pada semua siswa bisa belajar (kesetaraan akses belajar), mendorong agar siswa memiliki kemampuan untuk berpikir tingkat tinggi dan pemecahan masalah, pembelajaran berdasarkan konteks nyata, dan praktik demokratis. Pada masa paradigma ini, belajar difokuskan pada konstruksi mental yang dibentuk dari pengetahuan awal dan budaya, metakognisi, identitas, dan memiliki kemampuan kognitif secara sosial budaya. Implikasinya pada asesmen adalah berkembangnya tugas-tugas menantang yang mendorong siswa untuk berpikir kritis, penilaian dilakukan selama proses belajar bukan hanya hasil akhir, dan siswa memiliki kesempatan untuk mengevaluasi karyanya sendiri.

Perubahan paradigma ini juga mempengaruhi bentuk asesmen yang harus menyelaraskan dengan standar konten yang bermakna. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai bentuk asesmen diantaranya observasi, wawancara, proyek, jurnal reflektif, self-evaluation, demonstrasi, dan portofolio. Bentuk-bentuk asesmen ini harus disertai dengan analisis bukti oleh guru.

Pada artikel kedua, Stiggins (2014), ia menjelaskan bahwa sekolah yang efektif adalah sekolah yang memiliki literasi asesmen. Maksudnya adalah sekolah yang memahami pronsip dari asesmen yang baik dan menggunakannya untuk mendukung dan meningkatkan perkembangan kemampuan siswa. Hambatan terbesar untuk merealisasikan ini adalah masih adanya keyakinan dan kebijakan yang keliru tentang tes yang memisahkan antara "yang mengajar" dan "yang menguji". Kekeliruan tentang tes ini berdampak pada kepercayaan bahwa skor tes standar menjadi satu-satunya bukti sah bahwa siswa belajar dan menyampingkan bukti belajar lainnya yang dianggap tidak dipercaya.

Stiggins (2014) memberikan rekomendasi yang dapat diimplementasikan yaitu:

1. Sekolah dituntut untuk dapat menaikan capaian dan memastikan kompetensi pambelajar sepanjang hayat. Asesmen perlu melayani dua tujuan yang berbeda, pertama sebagai alat instruksional untuk meningkatkan belajar, dan kedua sebagai alat sertifikasi untuk akuntabilitas. Kedua tujuan ini berbeda sehingga sekolah perlu membagi fokus pada keduanya.

2. Perlunya bukti dari asesmen karena keputusan asesmen memerlukan bukti yang andal. Permasalahan yang banyak dihadapi adalah masih minimnya pimpinan sekolah atau guru yang dilatih unruk mengembangkan asesmen berkualitas.

3. Penting untuk memberikan siswa ruang dalam menginterpretasikan hasil asesmen mereka karena hal ini dapat membentuk efikasi akademik siswa.

4. Perlunya untuk memberikan hak asesmen siswa (Student’s Bill of Assessment Rights). Hak ini terdiri dari hak mengetahui tujuan setiap asesmen (bagaimana dan siapa yang menggunakan hasil asesmen), hak memahami target belajar, hak memahami perbedaan performa baik dan buruk, hak atas asesmen yang handal, dan hak atas komunikasi yang efektif.

Berdasarkan kedua bacaan Shepard (2000) dan Stiggins (2014), mereka sepakat menolak nilai akhir sebagai bentuk akuntabilitas dan kualitas belajar siswa. Mereka mendorong guru dan sekolah menggunakan asesmen yang terintegrasi dalam pengajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Mereka juga menekankan perlunya kebutuhan pengembangan profesional guru agar mampu menjalankan asesmen yang bermakna dan menggunakan hasilnya untuk langkah belajar selanjutnya.

Adapun implikasi praktis yang dapat digunakan di kelas dan sekolah/sistem dari Shepard (2000) dan Stiggins (2014) adalah:

1. Untuk kelas

Lakukan asesmen dari awal proses belajar dan gunakan tugas terbuka, dorong siswa melakukan penilaian diri dan sejawat, dan buat rubrik yang dikonstruksi bersama. Selama proses belajar, terapkan umpan balik berjenjang (hint -> pertanyaan pengarah -> debugging) lalu dikoreksi.

2. Untuk sekolah

Sekolah perlu membedakan antara asesmen untuk mendukung belajar dan asesmen untuk mendukung sertifikasi sekolah. Sekolah juga perlu mengembangkan komunitas untuk membangun litrasi asesmen. Terakhir, sekolah harus memfasilitasi pengembangan profesional guru untuk meningkatkan kompetensi guru dalam mengembangkan asesmen.

Referensi

Shepard, L. A. (2000). The role of assessment in a learning culture. Educational Researcher, 29(7), 4–14. https://doi.org/10.3102/0013189X029007004

Stiggins, R. J. (2014). Improve assessment literacy outside of schools too. Phi Delta Kappan, 96(2), 67–72. https://doi.org/10.1177/0031721714553413

9/25/2025

Identitas pendidik guru dan narasi sebagai pedagogi

Berbicara tentang pendidik guru atau dosen yang mengajar calon guru, identitas merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan karena hal ini dapat mempengaruhi kualitas pendidik guru. Pembahasan kali ini, kita akan menggunakan dua artikel dari Liao & Maddamsetti (2019) dan Milner (2010) yang membahas tentang apa yang mempengaruhi pengembangan identitas pendidik guru. Walau pun secara spesifik Liao & Maddamsetti (2019) membahas pengembangan identitas pendidik guru transnasional tetapi kerangka konseptualnya terkait identitas pendidik guru dapat kita pelajari dan pahami.

Studi Liao & Maddamsetti (2019) menjelaskan bahwa pendidik guru transnasional dapat menghadapi hambatan bahasa-budaya dan krisis legitimasi dan mengubahnya menjadi sumber daya pedagogis melalui tiga identitas; 1) melegitimasi diri lewat modal transnasional; 2) membayangkan diri sebagai co-learner; 3) mempraktikkan budaya kelas berbasis inkuiri serta solidaritas.

Key point: Pendidik guru transnasional merupakan dosen yang berasal dari negara berbeda dan telah terlibat dalam kegiatan (mengajar) di negara tujuannya.

Liao & Maddamsetti (2019) membangun kerangka konseptual untuk melihat identitas pendidik guru yang terdiri dari tiga identitas sebagai berikut:

1. Identitas relasional atau identitas legitimasi (legitimate identity). Artinya bagaimana pendidik guru diakui sebagai dosen yang sah atau legit. Ini penting untuk pendidik guru transnasional karena pada tahap awal, mereka merasa kurang atau ragu-ragu dalam mengajar karena bahasa yang digunakan adalah bukan bahasa pertama mereka dan mereka memiliki referensi budaya yang berbeda.

2. Imagined identity. Artinya bagaimana gambaran diri yang ideal; tipe pendidik guru seperti apa yang diinginkan, ini menuntun pendidik guru untuk menentukan pilihan dan cara berkembang dari waktu ke waktu. Pada identitas ini terjadi pergeseran yang awalnya dari fokus pada "ahli pengetahuan" kemudian menjadi "co-learner".

3. Practical identity. Artinya praktik nyata yang dilakukan oleh pendidik guru dalam bagaimana merancang, memfasilitasi, dan merefleksikan pengajaran serta melakukan pembimbingan. Awalnya pendidik guru berfokus pada "apa yang diajarkan" kenudian mengarah pada "mengapa dan bagaimana", ini mengarah pada pembangunan budaya kelas berbasis inkuiri dan solidaritas.


Dari kerangka konseptual yang dikembangkan oleh Liao & Maddamsetti (2019), memperlihatkan bahwa pengembangan identitas pendidik guru dipengaruhi dua hal utama yaitu latar belakang (personal backgrounds) dan konteks (institusional, sosial-budaya). Pengembangan identitas pendidik guru ini akan berubah seiringnya waktu hingga mereka menemukan dan yakin pada identitas mereka. Adaptasi awal menjadi pendidik guru pada mulanya mendapatkan tantangan dalam memosisikan diri mereka sebagai dosen yang ingin diakui atau "legit". Tantangan lainnya adalah latar bahasa dan budaya dalam pembentukan identitas pendidik guru. Maka dari itu, Liao & Maddamsetti (2019) menyerukan untuk membangun ekosistem dukungan seperti mentoring, pertemuan tim, dan refleksi untuk memfasilitasi transformasi identitas pendidik guru ini.

Key point: Ketiga identitas ini saling berkaitan satu sama lain dengan dukungan dari dua faktor (latar belakang personal dan konteks). Intinya adalah legitimate merujuk pada "apakah saya diakui sebagai pendidik guru", imagined itu seperti "ingin menjadi apa saya sebagai pendidik guru", dan practical menjawab "apa yang saya lakukan sebagai pendidik guru".

Dalam studi lainnya, Milner (2010), memaparkan pengalaman pribadinya dalam bentuk narasi tentang ras untuk mempengaruhi keputusan kurikulum dan pedagoginya dalam pendidikan guru. Landasan teori yang digunakan dalam narasinya ini meliputi:

1. Ras dapat mempengaruhi bagaimana cara kita dalam memandang karena ras bersifat sosial dan legal-kultural.

2. Self-study dalam pendidikan guru penting dilakukan karena dapat membantu pendidik guru (dosen) dalam memahami calon guru yang diajarnya sehingga ini dapat mempengaruhi praktik pengajaran mereka di kelas.

3. Narasi dalam pendidikan guru bertujuan untuk meningkatkan cara calon guru berpikir dan bertindak sebab pengalaman hidup merupakan sumber pengetahuan pedagogis yang kuat.

4. Berikan pemahaman bahwa guru merupakan "kurikulum" sehingga apa yang guru katakan dan lakukan dapat menjadi sumber belajar bagi siswa, sebab kurikulum itu bukan hanya terdiri dari dokumen saja tetapi juga aksi.

5. Kurikulum terdiri dari tiga bentuk, ekplisit (tertulis), implisit (tidak tertulis), dan null (yang tidak diajarkan).

Dari studi Milner (2010) terdapat implikasi praktis yang baik untuk pengembangan pendidikan guru, sebagai berikut:

1. Narasi dapat digunakan oleh dosen dan mahasiswa (calon guru) sebagai bagian dari kurikulum. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengundang mahasiswa untuk menceritakan pengalamannya yang terkait dengan teori sehingga dapat membangun pengetahuan dan empati.

2. Bangun ruang yang aman untuk mengakui perbedaan yang ada. Ruang ini bertujuan untuk menemukan titik temu melalui dialog sehingga dapat menurunkan resistensi.

3. Ajarkan mahasiswa bahwa guru sebagai pengembang kurikulum, guru dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. 

4. Ajarkan mahasiswa tentang bentuk kurikulum; ekplisit, implisit, dan null.

5. Dorong mahasiswa untuk melakukan self-study dan praktik di sekolah untuk mengukur apakah pembelajaran sudah efektif mengubah keputusan kurikulum dan pedagogi di sekolah.

Milner (2010) mengungkapkan bahwa narasi dan self-study merupakan alat yang dapat digunakan dalam pendidikan guru untuk menjembatani teori dan pengalaman. Ini digunakan untuk melihat "apa yang tidak terlihat" dalam kurikulum. Berdasarkan hal ini, integrasi narasi dan self-study dalam kurikulum dapat dipertimbangkan dengan desain kurikulum yang cermat. 

Key point: Integrasi narasi dan self-study seperti memberikan tempat untuk "menceritakan dan mendengarkan" sehingga kita tidak hanya memahami dunia yang kita tinggali saja, namun kita optimis berjalan ke dunia yang kita inginkan.

Berdasarkan kedua paper, Liao & Maddamsetti (2019) dan Milner (2010), memaparkan bahwa pengalaman hidup pendidik guru dapat dijadikan sumber utama (epistemik dan pedagogi). Kedua paper ini juga menyerukan untuk menguatkan peran komunitas, Liao & Maddamsetti (2019) menekankan pentingnya mentoring dan refleksi untuk membantu dalam pengenbangan identitas pendidik guru. Sedangkan Milner (2010) menekankan pada pemberian ruang dan mendorong refleksi berkelanjutan melalui self-study.

Referensi

Liao, W., & Maddamsetti, J. (2019). Transnationality and Teacher Educator Identity Development: A Collaborative Autoethnographic Study. Action in Teacher Education, 41(4), 287-306.

Milner, H. R. (2010). Race, narrative inquiry, and self-study in curriculum and teacher education. In Culture, curriculum, and identity in education (pp. 181-206). Palgrave Macmillan, New York.


9/16/2025

Era baru asesmen: Menggabungkan tes, tugas kinerja, dan portofolio untuk deeper learning

Hi all, so dalam pembahasan kali ini, kita akan menggunakan artikelnya Conley (2015) yang berjudul "A new era for educational assessment". Artikel ini mendorong kita untuk menggunakan asesmen era baru untuk mendorong perkembangan siswa terutama dalam kesiapan siswa dalam menghadapi kesiapan kuliah atau karier/kerja. 

Awalnya asesmen siswa bergantung pada tes pilihan ganda namun mulai beralih ke sistem asesmen yang multi-ukuran yang bertujuan untuk menilai pembelajaran secara bermakna dan tetap memenuhi kebutuhan akuntabilitas sistem. Conley (2015) menekankan bahwa standar seperti common core tidak lagi terukur jika hanya dengan tes on-demand saja, diperlukan kombinasi untuk menilai penguasaan dan keterampilan secara keseluruhan.

Postingan kali ini akan mengeksplorasi temuan David Conley tentang evolusi asesmen pendidikan. Dari pembahasan ini, kita akan memahami perubahan dan pengaruh yang membentuk praktik asesmen pendidikan, asesmen multi-ukuran, dan mengidentifikasi berbagai pendekatan asesmen. 

Perubahan asesmen ke arah asesmen muti-ukuran

Berdasarkan overview awal, fokus pertanyaan kita adalah "Mengapa asesmen perlu berubah?". Mari kita bahas secara komprehensif jawaban dari pertanyaan ini. Ada beberapa hal yang menjadikan asesmen perlu diubah ke arah multi ukuran. Pertama, kelemahan pada tes tradisional, sistem asesmen yang masih menggunakan tes tradisional yang hanya fokus pada reliabilitas (kemampuan untuk mengukur hal yang sama secara konsisten) daripada validitas (kemampuan untuk mengukur hal yang tepat) sehingga tes tradisional hanya mengukur potongan pengetahuan/keterampilan secara terpisah bukan pemahaman konseptual dan penerapan konteks nyata. Kedua, adanya kepenatan publik, guru dan orang tua sudah penat dengan praktik tes tradisional karena hasilnya belum tentu mencerminkan peningkatan pembelajaran siswa. Ketiga, evidensi baru, hasil riset menunjukkan bahwa kesiapan kuliah/karier menuntut tidak hanya berfokus pada asesmen yang mengukur literasi-numerasi saja, namun menuntut asesmen yang mencangkup keterampilan belajar, strategi kognitif, dan penerapan lintas disiplin.

Dalam artikelnya, Conley (2015) merumuskan empat kunci utama yang dapat diajarkan, dipelajari, dan dinilai untuk kesiapan siswa terutama untuk kesiapan kuliah atau karier. Keempat kunci ini adalah kerangka yang merumuskan apa saja yang dibutuhkan oleh siswa.


1. Key cognitive strategies, merupakan keterampilan berpikir untuk belajar dan memahami lebih dalam dan mampu menghubungkan konsep lintas mata pelajaran. Contohnya, mampu merumuskan masalah dan merencanakan solusinya.

2. Key content knowledge, merupakan ide dan konsep pengorganisasi suatu disiplin serta sikap positif terhadap belajar (fokus pada konten). Maksudnya adalah mengerti konsep inti dari pembelajaran. Contohnya, dalam matematika, mengerti fungsi dan pertumbuhan eksponensial.

3. Key learning skills and techniques, adalah kepemilikan belajar atau kebiasaan yang mendorong siswa untuk mandiri dan tangguh, serta memiliki strategi belajar praktis. Siswa perlu memiliki motivasi, tujuan, regulasi diri, metakognisi, dan persistensi. Selain itu, siswa juga perlu memiliki teknik belajar sendiri seperti catatan, menggunakan teknologi, dan strategi belajar.

4. Key transition knowledge and skills, adalah pengetahuan dan kemampuan untuk bertransisi ke perguruan tinggi atau bekerja. Pengetahuan dan kemampuan tersebut mencangkup aspirasi, pemilihan kampus, aplikasi dan sumber daya, dan kemampuan advokasi diri. Contohnya, mampu merumuskan aspirasi pendidikan atau karier dan menemukan kecocokan program yang akan dipilih.

Key point: Untuk mendorong perkembangan siswa dan kesiapan siswa ke jenjang perkuliahan atau siap untuk bekerja, fokusnya jangan hanya pada nilai dan hafalan konten, tetapi termasuk cara berpikir, kebiasaan belajar, dan keterampilan transisi ke pendidikan tinggi atau dunia kerja. Intinya, keempat kunci ini membentuk kerangka yang saling melengkapi, dimana konten memberikan bahan belajar, strategi kognitif mendorong siswa untuk berpikir secara mendalam, keterampilan belajar menjaga prosesnya agar efektif, dan pengetahuan transisi memastikan siswa yakin dengan pilihannya dan mampu bertahan di lingkungan kampus atau dunia kerja.

Pendekatan-pendekatan dalam asesmen

Conley (2015) memberikan kotinum pendekatan asesmen yang dapat digunakan. Ia juga menyarankan untuk menggunakan sistem yang menggabungkan beberapa pendekatan asesmen. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah:

1. Tes pilihan ganda tradisional. Tes ini reliabel dan saat ini sudah ada versi yang adaptif dengan menggunakan komputer untuk hasil yang lebih efisien dan presisi, namun tetap terdapat keterbatasan karna hanya berupa butiran soal.

2. Tes common core. Tes ini dilakukan untuk mengukur apakah siswa dapat mencapai standar yang ditetapkan. Namun, tes ini hanya mengukur standar di level tertentu saja sebab standar saat ini sudah menuntut siswa memiliki kemampuan sintesis, riset, pemodelan, dan kolaborasi.

3. Tugas kinerja (performance tasks). Tugas-tugas yang berupa aktivitas beberapa jam atau minggu untuk menyelesaikannya.

4. Project-centered assessment. Ini merupakan proyek jangka panjang siswa dengan menghasilkan produk atau presentasi.

5. Collections of evidence (portofolio). Ini merupakan kumpulan bukti (karya/kegiatan/keterampilan) yang dilakukan oleh siswa.

Key point: Dari artikel Conley ini, ia mengarahkan agar asesmen dapat seperti "diagnostik medis" sehingga asesmen dilakukan secara menyeluruh, memberikan informasi kaya tentang penyebab dan solusi perbaikan, tidak hanya mengumpulkan gejala tetapi disertakan dengan dukungan yang tepat.

Referensi

Conley, D. (2015). A new era for educational assessment. Education Policy Analysis Archives, 23(8), 1-41. http://dx.doi.org/10.14507/epaa.v23.1983

9/08/2025

Identitas pendidik guru: Gambaran umum

Kali ini kita akan membahas tentang bagaimana gambaran umum identitas pendidik guru. Sebagaimana yang kita tahu, pendidik guru merupakan dosen yang mengajar calon-calon guru di perguruan tinggi. Dalam pembahasan kali ini, kita akan menggunakan empat artikel yang berkaitan dengan identitas guru seperti buku Pinnegar dan Hamilton (2015) chapter 1 yang membahas tentang "definition of identity", artikel Izadinia (2014) yang membahas tentang "teacher educators’ identity", Dinkelman (2011) tentang "Forming a teacher educator identity", dan Swennen et al. (2010) tentang "teacher educators". Kita akan mengulas keempat paper tersebut berdasarkan dari fokus, teori/konsep yang digunakan, temuan, serta kita akan melakukan sintesis untuk mencari benang merah dari keterkaitan artikel-artikel tersebut.

Key concepts

Buku Pinnegar dan Hamilton (2015) berfokus dengan membangun kerangka konseptual identitas pendidik guru. Mereka menyebut kerangka ini sebagai proses dari "being and becoming". Artinya bahwa identitas pendidik guru muncul diantara tindakan dan selalu berubah-ubah yang didasarkan dari agensi individu dalam konteks sosial budaya. Kerangka yang mereka bangun ini menggunakan beberapa teori seperti; 1) Erikson’s theory tentang biopsychosocial bahwa identitas berkembang sepanjang hayat dan asalnya dari faktor biologis, psikologis, dan sosial; 2) Narrative teory, bahwa identitas muncul dalam cerita yang diceritakan sehingga membentuk proses living-telling-retelling-reliving sebagai bentuk "being" yang kemudian mengarah pada "becoming"; 3) Positioning theory, bahwa identitas hadir saat kita memposisikan diri atau pun orang lain melalui perkataan atau tindakan. 

Key point: agensi individu merupakan kapasitas individu dalam mengartikan sesuatu, menarasikan ulang diri, dan bertindak sesuai yang diinginkan, atau bahasa lainnya adalah kemampuan kita dalam menentukan pilihan secara sadar.

Pinnegar dan Hamilton (2015) menyoroti beberapa temuan utama dalam bukunya, sebagai berikut:

1. Identitas pendidik guru selalu berubah melalui tindakan, refleksi, dan relasi. Pengalaman masa lalu dapat direinterpretasi dan ditransformasi ke masa kini atau masa depan

2. Ketegangan pada fase hidup yang berbeda diantara pendidik beririsan dengan kebutuhan kerja sehingga hal ini berdampak pada kemampuan dalam membangun relasi pedagogis yang kolaboratif

3. Teori narrative dan positioning membantu dalam memperlihatkan pola yang tidak terlihat dalam tindakan sehari-hari. Pola-pola ini dapat membantu dalam praktik namun jika ternyata tidak sesuai maka ini memicu untuk berpikir dan bertindak ulang, hal ini menyebabkan terbentuknya transformasi.

Explanation: jika masih ada yang bingung pada poin ke-3, contohnya seperti ini, ada seorang dosen yang mengajar calon guru menggunakan panduan/skrip. Panduan ini membuat aturan umpan balik, namun saat dosen tersebut mendapati mahasiswa yang membutuhkan dukungan emosional, ternyata panduan itu tidak sesuai. Berdasarkan hal ini, dosen tersebut melakukan refleksi dan memposisikan ulang dirinya bukan hanya sebagai pengajar namun sebagai pembimbing/mentor sehingga ia membuat panduan baru dengan menyisipkan umpan balik yang lebih humanis dan dialogis. Dari sini kita paham bahwa praktik awalnya telah berubah kan ya, nah ini lah transformasi yang dimaksudkan.

Dalam artikelnya Swennen et al (2010), mereka berfokus pada pembahasan yang mengulas tentang "siapa pendidik guru", mereka juga mengidentifikasi sub-identitas utama dan bagaimana implikasinya bagi pengembangan profesional pendidik guru menggunakan berbagai teori dan konsep, terutama dari studinya Holland. 

Dari studi ini, Swennen et al (2010) menemukan bahwa terdapat empat sub-identitas pendidik guru yakni:

1. Pendidik guru sebagai guru sekolah. Dalam konteks Amerika, awalnya pendidik guru berasal dari guru sekolah. Hal ini dikarenakan saat rekruitmen, diperlukan pengalaman mengajar sehingga yang memenuhi persyaratan ini adalah guru sekolah.

2. Pendidik guru sebagai dosen di perguruan tinggi. Dalam prosesnya, fase induksi sering dilakukan sebagai pembelajaran berbasis kerja, biasanya didampingi mentor senior.

3. Pendidik guru sebagai guru para guru (second order teacher). Masih dalam konteks Amerika, ada transisi pendidik guru yang awalnya first order teacher (guru yang megajar siswa di sekolah) menjadi second order teacher (guru yang mengajar mahasiswa di perguruan tinggi). Oleh karena itu, pendidik guru ini memerlukan redefinisi identitas agar menghindari kegagalan transisi.

4. Pendidik guru sebagai peneliti. Untuk penguatan identitas peneliti, terdapat tiga jalur yakni belajar dengan melakukan riset (biasanya ada bimbingan dari kolega senior), melanjutkan pendidikan doktoral, dan kebijakan institusi atau nasional yang mendorong untuk melakukan riset.

Izadinia (2014), dalam artikelnya mengulas tentang berbagai studi tentang identitas pendidik. Temuan studinya meliputi:

1. Tantangan saat fase induksi

Tantangan ini diantaranya kekurangan dukungan dan keterampilan dalam melakukan riset sehingga menyebabkan kesulitan untuk membangun identitas sebagai peneliti, kurangnya pemahaman dalam pedagogi perguruan tinggi (seperti asesmen, perkuliahan) yang berujung munculnya keraguan diri, minimnya pengetahuan tentang manajemen organisasi, adanya faktor yang menyebabkan stress (beban ajar tinggi, tuntutan melakukan riset), dan kesulitan membangun koneksi profesional baik dengan kolega atau mahasiswa.

2. Terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan identitas pendidik guru. Pertama, self-support, ini dapat dilakukan dengan belajar dari supervisi harian, refleksi diri, trial-error, dan self-study. Kedua, community-support, ini dapat dilakukan melalui communities of practice, team teaching, dan interaksi sosial. Ketiga, latar belakang bawaan, ini seperti kepercayaan, pengalaman, dan role model.

3. Induksi yang berkualitas perlu memperhatikan hal-hal seperti, harus berfungsi sebagai learning community, sebagai relasi yang suportif dan kolaboratif, ada aktivitas reflektif, dan pentingnya keterlibatan dalam riset.

Dinkelman (2011) melalui artikelnya memaparkan studi ilustratifnya yang berfokus pada bagaimana identitas pendidik guru dibentuk dari konteks institusional, standar, praktik, dan relasi. Kajian ini menggunakan model identitas Gee yakni nature (identitas berdasarkan sifat), institutional (identitas berdasarkan posisi yang dipegang), discursive (identitas berdasarkan apa yang telah dilakukan dan dalam dialog dengan orang lain), dan affinity (identitas berdasarkan kesetiaan pada praktik dan perspektif afiliasi kelompok). 

Dinkelman (2011) dalam studinya menemukan bahwa:

1. Audit culture (akreditasi, data kinerja) dapat mengaburkan dan mengikis makna utama yang ada di praktik. Ini dikarenakan asesmen seringnya hanya menghitung kehadiran bukan membuka ruang dialog.

2. Standar yang paling penting diperhatikan adalah pada praktik sehari-hari, sebab identitas sering terbentuk dalam ruang praktik bukan dalam dokumen standar

3. Identitas dapat tumbuh melalui agensi (kemampuan membentuk identitas dengan pilihan sadar, kolaborasi, dan tindakan resistif-kreatif) dan relasi

Key point: Temuan Dinkelman (2011) ini menginformasikan kita bahwa identitas pendidik guru itu dapat tumbuh melalui agensi dan relasi, dan standar yang difokuskan itu seharusnya dari praktik sehari-hari bukan malah fokus di dokumen dan tabel akreditasi.

Sintesis

Berdasarkan pembahasan terhadap keempat artikel, para penulis setuju bahwa identitas pendidik guru bukan status yang tetap tetapi merupakan proses sosial yang dapat diubah melalui tindakan, refleksi, relasi, terutama agensi individu sebagai faktor utama (Pinnegar & Hamilton, 2015; Izadinia, 2014; Dinkelman, 2011; Swennen et al., 2010). 

Pada struktur identitas pendidik guru, Swennen et al (2010) telah menjelaskan bahwa terdapat empat sub-identitas pendidik guru (sebagai guru sekolah, pengajar di perguruan tinggi, guru dari guru, dan peneliti). Dalam konteksnya, keempat identitas ini perlu diseimbangkan dan ditransformasikan. Sebagaimana hal ini melengkapi kerangka being and becoming dan teori narrative serta positioning sebagai sistem pembentuknya (Pinnegar & Hamilton, 2015).

Dalam pembentukan identitas, penting untuk memperhatikan fase induksi karena fase ini menjadi titik rawan karena didalamnya ada ketegangan yang dapat memicu self-doubt (Izadinia, 2014). Untuk menjaga fase ini berjalan efektif, Pinnegar & Hamilton (2015) dan Dinkelman (2011) merekomendasikan untuk melaksanakan learning communities, refleksi, relasi suportif, dan self-study sebagai upaya menghubungkan mengajar dan meneliti.

Referensi

Dinkelman, T. (2011). Forming a teacher educator identity: Uncertain standards, practice and relationships. Journal of Education for Teaching, 37(3), 309-323.

Izadinia, M. (2014). Teacher educators’ identity: A review of literature. European Journal of Teacher Education, 37(4), 426-441.

Pinnegar, S. E., & Hamilton, M. L. (Eds.). (2015). Identity. In Knowing, becoming, doing as teacher educators: Identity, intimate scholarship, inquiry. Emerald Group Publishing.

Swennen, A., Jones, K., & Volman, M. (2010). Teacher educators: their identities, sub-identities and implications for professional development. Professional Development in Education, 36(1-2), 131-148.


9/06/2025

Asesmen dalam pembelajaran: Peran, prinsip, dan siapa saja yang terlibat

Jika ada pertanyaan "untuk apa asesmen digunakan dalam pembelajaran?", mungkin diantara kita secara singkat akan menjawab "untuk mengetahui sejauh mana kemampuan siswa", atau mungkin ada jawaban lain boleh ditulis di kolom komentar ya. Pertanyaan ini lah yang akan menjadi fokus pembahasan kita di postingan kali ini. Pada pembahasan kali ini, kita akan menggunakan bukunya Murchan dan Shiel (2017, pp. 1-12) yang membahas tentang asesmen dalam pendidikan. Beberapa hal yang akan dibahas yaitu:
1. Peran asesmen dalam pembelajaran
2. Prinsip-prinsip dalam asesmen
3. Pemangku kepentingan dalam asesmen
Dalam bukunya, Murchan dan Shiel (2017) menekankan bahwa hasil asesmen bukan hanya sekedar hasil siswa tetapi juga informasi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi dan merencanakan pembelajaran. Selain itu, mereka juga menjelaskan bahwa asesmen perlu melibatkan pemangku kepentingan sebagai proses kolaboratif untuk menghasilkan asesmen yang bermakna (Murchan & Shiel, 2017). Dari buku ini, kita akan mempelajari tentang bagaimana peran asesmen dalam pembelajaran, keselarasan antara tujuan dan asesmen, prinsip-prinsip dalam asesmen, dan mengenali siapa saja para pemangku kepentingan yang membutuhkan informasi hasil asesmen.

1. Peran asesmen dalam pembelajaran
Asesmen memiliki peran yang mutifaset karena asesmen berperan di ruang kelas dan juga sebagai pemasok informasi. Peran utamanya memang ada di ruang kelas untuk digunakan guru dalam memonitor perkembangan hingga kesulitan yang dialami siswa, dan ini dilakukan secara berkelanjutan hingga perkembangan siswa terlihat. Saat ini, peran asesmen tidak hanya sebagai assessment of learning (asesmen periodik) namun sudah beralih ke assessment for learning (asesmen rutin). Assessment for learning diimplementasikan dalam pembelajaran sehari-hari bertujuan untuk pemantauan secara rutin dan dapat memberikan tindakan atau umpan balik sesegera mungkin oleh guru. Hal ini dilakukan karena siswa membutuhkan informasi mengenai kemajuan belajar mereka sehingga mereka dapat memahami kemampuan mereka dalam belajar. Berdasarkan hal tersebut, pentingnya keselarasan antara tujuan dan asesmen, ini menjelaskan bahwa jika penilaian dilakukan dengan konsisten maka ini dapat membantu guru untuk memonitor belajar dan perkembangan siswa sehingga jika siswa tidak berkembang sesuai dengan tujuan pembelajaran maka guru dapat mengambil langkah korektif.
Dampak yang terjadi jika guru menggunakan assessment for learning atau asesmen rutin adalah siswa dapat mengetahui kemajuan atau kekurangan mereka dalam belajar, siswa dapat mengatur dan menyesuaikan cara mereka belajar, dan siswa dapat memotivasi dirinya dalam belajar. Selain peran di ruang kelas, asesmen berperan sebagai pemasok informasi bagi pengguna informasi hasil asesmen. Informasi ini berguna untuk guru dalam merencanakan pembelajaran di masa yang akan datang, dan berguna untuk pihak lain yang berkepentingan untuk menggunakan hasil asesmen siswa. 
Jika merujuk pada bukunya Murchan dan Shiel (2017), mereka menjelaskan bahwa asesmen tidak hanya datang dari guru saja melainkan ini adalah aktivitas kolaboratif sehingga dibutuhkan peran penting lain untuk ambil bagian dalam proses asesmen. Sebagaimana mereka mengatakan bahwa manusia itu kompleks sehingga membutuhkan kolaborasi lintas peran untuk mendapatkan hasil asesmen yang adil dan menjangkau seluruhnya (Murchan & Shiel, 2017).

Diskusi: Setelah membaca paragraf akhir, saya berpikir bahwa asesmen kolaboratif ini bagus tetapi ini memiliki tantangan yang berat. Saya memiliki pertanyaan, bagaimana kita bisa mengumpulkan berbagai perspektif dan asesmen dari pemangku kepentingan untuk dikumpulkan menjadi satu asesmen yang adil? lalu bagaimana subjektivitas asesmennya?.
Jika melihat konteks sekolah di Indonesia, sepertinya bentuk asesmen kolaboratif ini jarang terjadi kecuali jenjang SMK (hasil dari praktik kerja lapangan) atau bahkan mungkin pemahaman ini belum sampai ke seluruh pendidik. Pertanyaan selanjutnya, apakah asesmen kolaboratif ini efektif diimplementasikan dalam konteks pendidikan di Indonesia? hmm sepertinya butuh penelitian lebih lanjut untuk tau jawabannya ya.

2. Prinsip-prinsip dalam asesmen 
Asesmen secara umum dilakukan untuk meningkatkan pembelajaran siswa dan mengetahui apa saja yang telah dipelajari siswa (Murchan & Shiel, 2017), dan memahami kesulitan yang dialami siswa. Sedangkan berdasarkan tujuannya, asesmen terdiri dari diagnostik, formatif, dan sumatif (pembahasan lengkap ketiga asesmen ini ada di postingan sebelumnya). Berdasarkan hal tersebut, pentingnya keselarasan antara tujuan dan asesmen. ini menjelaskan bahwa jika penilaian dilakukan dengan konsisten maka ini dapat membantu guru untuk memonitor belajar dan perkembangan siswa sehingga jika siswa tidak berkembang sesuai dengan tujuan pembelajaran maka guru dapat mengambil langkah korektif.
Selain itu, Murchan dan Shiel (2017) menjelaskan terdapat 8 prinsip yang menuntun konseptualisasi, pengembangan, dan pelaksanaan asesmen, yaitu:
1. Asesmen harus mendukung dan mencerminkan konseptualisasi belajar. Maksudnya adalah asesmen perlu menggambarkan bagaimana pembelajaran yang seharusnya sesuai dengan siswa untuk mencapai hasil yang maksimal
2. Tujuan asesmen itu beragam, ada yang tujuannya langsung untuk siswa dan guru, ada juga untuk pemangku kepentingan lain
3. Fundamental asesmen adalah untuk mendukung pertumbuhan siswa dan masyarakat sehingga dibutuhkan sistem pengawasan, kebijakan, prosedur dan praktik yang etis dan adil
4. Kompleksitas manusia menjadikan asesmen memerlukan berbagai peran untuk menciptakan asesmen yang realistis
5. Implementasi asesmen berbasis teknologi digital harus sejalan dengan transformasi digital di pembelajaran
6. Sistem pendidikan mempelajari berbagai bidang namun tetap memprioritaskan area spesifik seperti literasi, numerasi, dan science. Hal ini membutuhkan keseimbangan dalam apa dan bagaimana melakukan asesmen
7. Pendekatan dan alat asesmen terus berkembang sehingga dibutuhkan orang yang kompeten terutama guru untuk mendapatkan hasil asesmen yang akurat
8. Asesmen dapat digunakan sebagai bukti karena asesmen berfungsi sebagai penyuplai informasi untuk kebijakan dan praktik berbasis bukti.

3. Siapa saja pemangku kepentingan yang membutuhkan informasi hasil asesmen
Secara umum, kita memahami bahwa pengguna hasil asesmen adalah guru, siswa, dan orang tua. Dalam bukunya, Murchan dan Shiel (2017) menjelaskan bahwa terdapat pemangku kepentingan lain yang memerlukan informasi tentang hasil asesmen siswa. Adapun pengguna dan tujuannya menggunakan hasil asesmen adalah:
1. Untuk mendukung pembelajaran: guru, siswa, orang tua, sekolah, dan layanan dukungan siswa (psikolog)
2. Untuk penjaminan mutu: dinas pendidikan (otoritas lokal), pembuat kebijakan, kementerian pendidikan, dan masyarakat
3. Untuk pengembang kebijakan: pembuat kebijakan, peneliti, dan wakil rakyat
4. Untuk seleksi dan lainnya: perguruan tinggi, pemberi kerja, pengembang tes, dan penerbit

Berdasarkan pembahasan ini, Murchan dan Shiel (2017) merekomendasikan untuk membaca bacaan lebih lanjut pada artikelnya Newton (2007) untuk memperjelas tujuan asesmen pada tiga level yakni penilaian, keputusan, dan dampak, serta memetakan peran guru dalam proses asesmen. Newton (2007) memperjelas bahwa keselarasan antara tujuan dan asesmen sangat krusial sebab ini dapat memastikan penilaian tepat, keputusan yang akurat, dan dampak yang positif pada motivasi belajar siswa dan kualitas pembelajaran.

Referensi
Murchan, D., & Shiel, G. (2017). Assessment in education. In Understanding and Applying Assessment in Education. United Kingdom: SAGE Publications. pp 1-12.
Newton, P. E. (2007). Clarifying the purposes of educational assessment. Assessment in education, 14(2), 149-170.
View My Stats