Pendidikan guru sejatinya arena yang sarat dengan dinamika dan kompleksitas, sebagaimana ada dalam empat paper/book chapter yang akan kita bahas (Wilson & Tair, 2008; Cochran-Smith, 2003; Sedlak, 2008; Sickett, 2008). Keempat artikel ini walau fokusnya pada aspek berbeda namun saling melengkapi dengan menggambarkan tujuan, tantangan, dan peluang pendidikan guru di Amerika Serikat. Disini kita akan mengulas artikel-artikel ini untuk melihat bagaimana sistem pendidikan guru yang ada di Amerika Serikat. Selain itu, kita juga akan merefleksikan artikel-artikel tersebut terhadap pendidikan guru yang ada di Indonesia.
Key Concepts
1. The Evolving Field of Teacher Education (Wilson & Tamir, 2008)
Penelitian yang dilakukan oleh Wilson dan Tamir menggali tantangan yurisdiksional kontemporer terhadap persiapan dan sertifikasi guru di Amerika Serikat. Mereka melakukan pemetaan bidang sosial pendidikan guru menggunakan konsep Pierre Bourdieu yakni konsep ortodoksi (orthodoxy) dan heterodoksi (heterodoxy). Ortodoksi mencangkup pendidikan guru tradisional, organisasi profesional, dan departemen pendidikan negara yang menyelenggarakan pendidikan guru. Sedangkan, heterodoksi mencangkup program sertifikasi alternatif, lembaga yang kritis terhadap persiapan tradisional, dan individu yang mempertanyakan penelitian dan profesionalisasi pendidikan guru.
Artikel ini menganalisis empat tema utama dalam tantangan terhadap sistem pendidikan guru. Pertama, para kritikus berpendapat bahwa pendidikan guru menghabiskan biaya dan birokrasi yang tidak perlu sehingga pasar terbuka dapat menjadi alternatif untuk menarik kandidat berbakat dan meningkatkan inovasi melalui persaingan. Kedua, adanya perdebatan tentang bukti penelitian pendidikan guru, banyak pihak memperdebatkan penelitian-penelitian yang dilakukan pada pendidikan guru dan efeknya terhadap kualitas guru. Ketiga, munculnya pertanyaan apakah mengajar adalah sebuah profesi karena basis pengetahuannya yang ambigu dan masih kurangnya akuntabilitas internal. Keempat, adanya tuduhan ideologi progresif dalam program pendidikan guru mengkhawatirkan bagi beberapa penantang.
2. The Unforgiving Complexity of Teaching: Avoiding Simplicity in the Age of Accountability (Cochran-Smith, 2003)
Cochran-Smith dalam artikelnya ini mendalami permasalahan tentang kualitas pengajaran dan akuntabilitas dalam pendidikan guru. Ia mengemukakan bahwa walaupun akuntabilitas dalam pendidikan penting, namun apabila bentuk evaluasi kualitas pengajaran hanya melalui skor tes, ini akan menghilangkan sisi kompleks pengajaran. Pengajaran melibatkan banyak aspek yang sulit diukur seperti keberagaman siswa sehingga jika mempersempit kualitas pengajaran maka akan mengabaikan realitas ini. Ia juga mengkritik kebijakan pemerintah seperti Undang-Undang pendidikan dasar dan menengah yang mengamanatkan pengujian standar dan menyamakan hasilnya dengan efektivitas pengajaran.
Cochran-Smith juga mengarahkan pendekatan yang digunakan untuk mempertahankan sifat pendidikan yang multifaset. Ia mencontohkan, Ohio Partnership for Accountability (OPA) dapat menjadi contoh inisiatif yang menghubungkan berbagai aspek kualitas pengajaran, persiapan guru, pembelajaran siswa, dan akuntabilitas melalui penelitian mix method. Proyek OPA ini menyatukan para pemangku kepentingan dan bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih holistik. Walaupun akuntabilitas penting, ia menyebutkan bahwa ketergantungan pada tes standar hanya akan mendorong pandangan yang sempit tentang pengajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan siswa dan masyarakat dalam jangka panjang.
Artikel ini menyimpulkan bahwa pengajaran harus dipahami pada setiap kompleksitasnya jika tujuannya benar-benar untuk meningkatkan pendidikan. Apabila hanya menyamakan skor tes dengan pangajaran maka hal ini gagal menghargai realitas kelembagaan sekolah dan ruang kelas. Ukuran kualitas pengajaran dan pembelajaran perlu juga memperhitungkan keberagaman siswa agar bermakna.
3. Competing visions of purpose, practice, and policy: The history of teacher certification in the United States (Sedlak, 2008)
Sedlak menjelaskan mengenai sejarah sertifikasi guru di Amerika Serikat memperlihatkan evolusi kompleks yang dipengaruhi oleh faktor sosial, politik, dan ekonomi. Pada awalnya, untuk menjadi guru di Amerika merupakan pilihan pribadi yang didasarkan atas negosiasi dan rekomendasi. Hal ini berdasarkan kebijakan dari para pemimpin kolonial awal seperti the Six Nations, mereka bersikap skeptis terhadap pendidikan formal dan lebih memilih pengetahuan praktis daripada akademis. Hal ini terlihat dari sikap skeptis dari para imigran eropa yang lebih condong ke ortodoksi agama dan literasi dasar daripada arah pendidikan yang lebih luas. Sepanjang kepemimpinan kolonial hingga awal abad ke-19, pemerintah daerah dan pimpinan masyarakat yang memiliki tanggung jawab untuk merekrut guru dengan melakukan penilaian informal melihat karakter dan keterampilan akademis dasar. Pendekatan ini menghasilkan ketidakkonsistenan dan juga penyalahgunaan sehingga muncul seruan untuk reformasi.
Pada abad ke-19, muncul perubahan yang signifikan yang disebabkan oleh industrialisasi dan urbanisasi sehingga menciptakan tuntutan baru untuk tenaga kerja yang terdidik dan disiplin. Akhirnya, para reformis menganjurkan untuk menggunakan pendekatan terstandarisasi dan profesional dalam program sertifikasi guru. Hal ini mengakibatkan adanya pembentukan sekolah normal yang diatur negara (sentralisasi) sebagai tempat pendidikan guru dan program sertifikasi guru. Sekolah ini bertujuan untuk memberikan pelatihan formal dalam bidang pedagogi dan mata pelajaran kepada calon guru. Kebijakan ini tidak berlangsung mulus karena adanya pertentangan dari pemerintah daerah dan para tradisionalis yang takut kehilangan kendali daerah dan pengaruh masyarakat atas pendidikan. Namun kebijakan ini akhirnya memperoleh momentum karena negara bagian di Amerika memiliki pandangan yang sama tentang kredensial formal dan pendidikan tinggi bagi para guru.
Masuk pada abad ke-20, model kredensial profesional menjadi dominan melalui ujian yang dilakukan pada proses sertifikasi guru. Pada tahun 1930-an mulai diperkenalkan ujian guru nasional yang semakin mengedepankan standarisasi penilaian kualifikasi guru walau masih adanya kritik yang datang. Pasca perang dunia II, era ini menyaksikan keberlangsungan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan guru yang didukung dengan semakin diakuinya bahwa penting untuk memiliki guru yang terlatih, terdidik, dan mampu mengatasi tantangan sosial dan ekonomi. Secara keseluruhan, sejarah sertifikasi guru di Amerika Serikat fokus pada perjuangan berkelanjutan untuk mendefinisikan tujuan dan praktik pendidikan yang terus berubah.
4. The moral and epistemic purposes of teacher education (Sockett, 2008)
Artikel ini mengulas tentang tujuan moral dan epistemik pendidikan guru dan menekankan bahwa pengajaran harus diakui sebagai sebuah profesi. Untuk pengakuan ini, para guru perlu terus meningkatkan kualitas profesionalnya dan mendapatkan pengakuan publik melalui penghargaan finansial, otonomi, dan rasa hormat. Sockett menekankan peran penting pendidikan guru tidak hanya memastikan kualitas praktisi saja tetapi juga berkontribusi pada pengembangan agen moral. Sockett memaparkan tantangan yang dihadapi oleh profesi guru dalam hal otonomi dan pemerintahan sendiri. Ia menjelaskan bahwa kebijakan yang dibuat pemerintah seringkali tidak sesuai dengan kode etik. Selain itu, ia memaparkan dampak pengawasan publik dan politik terhadap pekerjaan guru sekolah negeri sehingga mengurangi nilai yang dirasakan dari pekerjaan para guru.
Sockett memperkenalkan empat model tujuan moral dan epistemologis dalam pendidikan guru yakni scholar-professional, nurturer-professional, clinician-professional, dan moral agent-professional. Model-model ini memiliki pendekatan yang berbeda untuk mengintegrasikan tujuan moral dan epistemik dalam pengajaran. Model scholar berfokus pada upaya intelektual mengajar dalam kurikulum akademis dan menekankan pada pengembangan pemikiran kritis dan estetika. Model nurturer menekankan pada individu dan hubungan antara guru dan siswa yang mengacu pada tradisi yang berpusat pada siswa. Model clinician, model ini melihat pengajaran sebagai profesi yang mirip profesi medis, menekankan pada pengetahuan berbasis penelitian dan keahlian adaptif. Model moral agent merupakan model yang berfokus pada upaya moral yang fundamental, fokusnya pada pengembangan komprehensif siswa dan integrasi pengajaran akademis dengan kebajikan intelektual dan moral. Sockett menyimpulkan bahwa walaupun model-model ini menyediakan kerangka kerja untuk memahami tujuan moral dan epistemik pendidikan guru, namun jika hanya menggunakan satu model saja mungkin sulit karena beragamnya perspektif dan nilai dalam pendidikan.
Analisis
Wilson dan Tamir (2008) menggarisbawahi pertarungan antara ortodoksi dan heterodoksi dalam persiapan guru. Mereka menunjukkan bahwa meskipun ada norma dan nilai yang mapan dalam pendidikan guru, munculnya program sertifikasi alternatif dan kritik terhadap sistem yang ada menciptakan ruang bagi inovasi. Hal ini sejalan dengan pandangan Cochran-Smith (2003) yang menekankan bahwa akuntabilitas yang berlebihan, terutama yang berfokus pada skor tes standar, mereduksi kompleksitas pengajaran. Ia berargumen bahwa pengajaran tidak dapat dipahami hanya melalui metrik sederhana, melainkan harus dilihat sebagai proses multifaset yang melibatkan keberagaman siswa dan konteks sosial.
Sedlak (2008) menambahkan dimensi historis yang penting, menjelaskan bagaimana sertifikasi guru telah berevolusi dari pendekatan informal yang didominasi oleh rekomendasi pribadi menjadi sistem yang lebih terstandarisasi dan profesional. Namun, meskipun ada kemajuan, tantangan tetap ada, terutama dalam hal otonomi dan pengawasan yang dihadapi oleh para pendidik. Sockett (2008) menyoroti pentingnya tujuan moral dan epistemik dalam pendidikan guru, menekankan bahwa pengajaran harus diakui sebagai profesi yang tidak hanya berfokus pada pengetahuan akademis, tetapi juga pada pengembangan agen moral yang dapat dipercaya oleh masyarakat.
Artikel-artikel ini mengajak kita untuk berpikir kritis tentang bagaimana kita mendefinisikan kualitas dalam pendidikan guru. Apakah kita akan terjebak dalam pandangan reduktif yang mengukur keberhasilan hanya melalui hasil tes, ataukah kita akan mengakui bahwa pengajaran adalah seni yang melibatkan hubungan interpersonal, konteks sosial, dan pengembangan karakter?
Lebih jauh, tantangan yang dihadapi oleh profesi guru dalam mencapai status profesional yang diinginkan, seperti yang diungkapkan oleh Sockett (2008), menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk meningkatkan standar, masih ada ketegangan antara idealisme dan realitas. Dalam konteks ini, penting untuk mempertimbangkan bagaimana kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pengembangan profesional yang berkelanjutan, di mana guru tidak hanya dilihat sebagai penyampai pengetahuan, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial.
Secara keseluruhan, keempat artikel ini menyoroti perlunya pendekatan yang lebih holistik dan nuansa dalam memahami pendidikan guru. Dengan mengintegrasikan perspektif historis, kritik terhadap akuntabilitas, dan tujuan moral, kita dapat lebih baik memahami tantangan yang dihadapi oleh para guru dan bagaimana kita dapat berkontribusi pada pengembangan profesi yang lebih adil dan efektif.
Refleksi terhadap pendidikan guru di Indonesia
Pendidikan guru di Indonesia, seperti halnya di Amerika Serikat, menghadapi berbagai tantangan yang kompleks dan beragam. Mengacu pada analisis yang dihasilkan dari Wilson dan Tamir (2008), Cochran-Smith (2003), Sedlak (2008), dan Sockett (2008), kita dapat menarik kesamaan yang signifikan dengan konteks pendidikan di tanah air.
Pertama, tantangan ortodoksi dan heterodoksi dalam pendidikan guru di Indonesia juga sangat relevan. Sistem pendidikan kita seringkali terjebak dalam norma-norma tradisional yang mengedepankan pendekatan konvensional dalam pelatihan guru. Namun, dengan munculnya berbagai program sertifikasi alternatif dan inisiatif pendidikan yang lebih inovatif dari universitas dan lembaga swasta, ada peluang untuk merombak cara kita mempersiapkan guru. Misalnya, program pelatihan berbasis komunitas dan penggunaan teknologi dalam pendidikan dapat menjadi bentuk heterodoksi yang menentang status quo. Pertanyaannya adalah, sejauh mana kita bersedia membuka diri terhadap perubahan dan menerima pendekatan baru yang mungkin lebih sesuai dengan kebutuhan siswa di era digital ini?
Kedua, isu akuntabilitas yang diangkat oleh Cochran-Smith (2003) juga sangat relevan di Indonesia beberapa tahun lalu. Beberapa tahun kebelakang (sebelum tahun 2021 saat ujian nasional dihapuskan), hasil ujian nasional seringkali menjadi tolok ukur utama keberhasilan pendidikan. Namun pendidikan Indonesia mulai berbenah, pada tahun 2021, Indonesia mulai menggunakan sistem evaluasi yang lebih holistik, yang tidak hanya mengandalkan hasil tes, tetapi juga mempertimbangkan perkembangan karakter, kreativitas, dan keterampilan sosial siswa. Walau memang penghapusan ujian nasional ini mendapat kritik keras dari para tradisionalis dan berbagai kalangan masyarakat.
Selanjutnya, sejarah sertifikasi guru di Indonesia menunjukkan perjalanan yang tidak jauh berbeda dengan yang diuraikan oleh Sedlak (2008). Meskipun ada upaya untuk meningkatkan standar melalui program pendidikan profesi guru (PPG), tantangan dalam implementasi dan konsistensi tetap ada. Banyak guru yang masih menghadapi kesulitan dalam mendapatkan akses ke pelatihan berkualitas, terutama di daerah terpencil. Ini menimbulkan pertanyaan-Bagaimana kita dapat memastikan bahwa semua guru, tanpa memandang lokasi atau latar belakang, memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan profesionalisme mereka?
Akhirnya, tujuan moral dan epistemik dalam pendidikan guru, seperti yang dibahas oleh Sockett (2008), sepertinya harus menjadi fokus utama dalam konteks Indonesia. Pendidikan tidak hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga tentang membentuk karakter dan nilai-nilai moral siswa. Dalam masyarakat yang semakin plural dan beragam, bagaimana kita dapat memastikan bahwa pendidikan guru mencakup pengembangan nilai-nilai toleransi, empati, dan keadilan sosial? Ini adalah tantangan yang memerlukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pengembangan moral dan intelektual.
Secara keseluruhan, refleksi terhadap pendidikan guru di Indonesia mengajak kita untuk berpikir kritis tentang bagaimana kita dapat mengatasi tantangan yang ada dan memanfaatkan peluang untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik. Dengan mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan holistik, kita dapat memastikan bahwa pendidikan guru tidak hanya menghasilkan guru yang kompeten, tetapi juga agen perubahan yang mampu membentuk masa depan bangsa.
Referensi
Cochran-Smith, M. (2003). The unforgiving complexity of teaching: Avoiding simplicity in the age of accountability. Journal of Teacher Education, 54(1), 3-5. https://doi.org/10.1177/0022487102238653
Sedlak, M. W. (2008). Competing visions of purpose, practice, and policy: The history of teacher certification in the United States. In M. Cochran-Smith, S. Feiman-Nemser, & J. McIntyre (Eds.), Handbook of research on teacher education. Routledge. https://doi.org/10.4324/9780203938690
Sockett, H. (2008). The moral and epistemic purposes of teacher education. In M. Cochran-Smith, S. Feiman-Nemser, & J. McIntyre (Eds.), Handbook of research on teacher education. Routledge. https://doi.org/10.4324/9780203938690
Wilson, S., & Tamir, E. (2008). The evolving field of teacher education: How understanding challenge(r)s might improve the preparation of teachers. In: M. Cochran-Smith, & S. Feiman-Nemser (Eds.), Handbook of research on teacher education: Enduring issues in changing contexts (Third Edition). Association of Teacher Educators.
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya ^^